Hampir semua orang mengatakan, waktu adalah obat mujarab yang khasiatnya luar biasa ampuh meski dengan proses yang terbilang cukup panjang. Banyak artikel-artikel yang ku baca maupun video motivasi yang ku tonton untuk mendukung proses melupakan tersebut. Nyatanya sesuatu yang dihilangkan secara paksa itu tidak dengan mudah cepat bekerja, prosesnya semakin lama dan kian memakan waktu, yang ada hanya mengulur-ulur waktu. Ah, tau gitu gak usah ngabisin waktu buat hal sia-sia kaya gitu.
Mungkin kita kembali dulu ke 15 Maret 2020 dua tahun silam, yang ku yakini merupakan awal mula rasa asing itu ada. Hadirnya masih samar dan tipis-tipis bahkan rentan patah dan mudah menghilang. Hanya karena sebuah insiden konyol dan hal random yang bisa di katakan hanya sebuah lelucon biasa, ternyata dampak yang ditinggalkannya sangat luar biasa.
Dalam urusan hati, aku bukanlah tipe orang yang mudah menunjukan emosi yang aku rasakan. Keberadaanya selalu susah untuk aku sendiri deskripsikan; apakah itu kasih sayang; sekedar ramah tamah ataukah cinta? hanya saja untuk yang terakhir, aku sendiri memandang cinta adalah sebuah hal abstrak. Dia ada tapi tidak benar-benar melengkapi, dia bisa dirasakan tapi tidak dengan rasa aman, dia bisa dimiliki namun ragu untuk tetap berjalan beriringan bahkan dari detik satu langkah sejak cinta itu menghampiri. Kata orang saat kita jatuh cinta kepada seseorang, itu tidak ada alasan. Tau-tau kita sudah jatuh tanpa memikirkan resiko yang di dapat. Mungkin aku mengalami hal yang serupa.
Dia adalah tipe laki-laki sederhana penyayang keluarga terutama ibunya.
Keberadaannya selalu aku nantikan dan menjadi penyemangat kala aku hampir
menyerah dengan siklus tetap di unit kegiatan mahasiswa di kampus, yang dituntut untuk selalu berfikir kritis. Aku selalu mengagumi cara berfikirnya yang bijak dan argumentasinya yang selalu masuk point inti saat kegiatan rapat diadakan. Tipe pemimpin yang bisa diandalkan dan orang-orang menghargainya. Tetapi dia tidak pernah mau menjadi bagian dari posisi tersebut. Tentu saja pertama kali aku mengenalnya lewat sebuah UKM yang aku ikuti tersebut. seiring berjalannya waktu, entah sejak kapan lebih pastinya, perasaan kagum itu berubah menjadi perasaan aneh yang sulit untuk dilupakan dan tanpa ku sadari aku selalu memikirkannya. Hanya saja UKM yang ku ikuti melarang anggota maupun pengurusnya menjalin hubungan yang lebih dari teman sesama anggota.
Satu hal yang pernah aku pastikan dengan perasaanku adalah, ketika untuk pertama kalinya dia datang ke pikiranku, dia tidak akan pernah bisa aku gapai bahkan miliki. Dia terlalu jauh dan mustahil untuk selangkah lebih dekat menjadi orang yang bisa kupercayai sebagai pelabuhan tempat jatuhnya hatiku. Sejak itu, aku bertekad untuk tidak pernah lagi berurusan dengannya lagi. Lagian aku juga tidak dalam fase pencarian menerima orang baru dalam hidupku, aku perlu memperbaiki diri lagi, fokusku untuk masa kuliahku pada saat itu. Dalam puisi yang ku buat, aku sampaikan bahwa cukup dengan mengaguminya dengan diam. Dengan insting yang masih labil aku meminta Tuhan untuk tetap mencukupkan rasa itu dengan perasaan manis dan pahit agar seimbang hingga nantinya rasa itu hanya menyisakkan rasa hambar. Toh pada saat itu juga dia telah memiliki seseorang sebagai tempatnya berpulang.
Bulan berganti bulan dan tahun silih berganti, banyak perjalanan yang kulalui dalam proses menghapus perasaan 'terlarang' itu. Bahkan ada beberapa orang yang 'mampir' untuk sekedar 'berteduh'. Pada suatu waktu dalam proses 'menampung' itu, aku merasa seseorang telah berusaha meruntuhkan tembok tinggi yang sudah susah payah ku bangun sebagai pertahanan diri, meksi ada sedikit keraguan bahwa dia bukan sekedar 'berteduh' atau menetap. Untuk alasan tertentu aku bertekad untuk kembali membuka diri, membuka persepsi baru tentang seseorang ini yang ku yakini dia akan menjadi bagian terpenting dari cerita hidupku. Kita hampir memiliki kesamaan yang sama persis; selera musik; sudut pandang; makanan; kesenangan. Tanpa sadar orang baru tersebut membuat sudut hatiku lupa tentang dia. Hanya saja, ternyata Tuhan masih belum cukup puas memberiku nasihat, dalam satu waktu aku kembali patah. Seperti yang ku tulis dalam buku harianku, besar kemungkinan dia datang hanya sekedar persinggahan.
Pada saat itu aku marah pada Tuhan, tentang kenyataan mengapa aku harus mudah jatuh dalam perangkap ilusi yang sebenanrya aku ciptakan sendiri. Aku marah pada Tuhan tentang mengapa aku harus mudah menerima kedatangan seseorang tanpa memikirkan bahwa itu hanya norma biasa. Aku pun marah pada Tuhan yang menciptakan hatiku begitu lembek, haus akan kasih yang ternyata malah salah aku artikan. Pada satu titik aku benci Tuhan.
Belum lama ini, Tuhan benar-benar menguji batas kemampuanku. Dia yang ku kagumi memilih menjatuhkan hatinya pada sahabatku sendiri. Sahabat yang saat bersamanya aku bisa menjadi diri aku sendiri, tempatku mengadu, berbagi cerita, yang tanpa kehadirannya mungkin tidak akan menjadikan aku yang sekarang; aku yang sudah tidak apatis lagi tentang sebuah pertemanan. Untuk sesaat aku merasa kosong. Waktu seakan berhenti dan aku merasa aku tengah mengalami Lucid Dream. Sayangnya ini nyata.
Seiring berjalannya waktu, sahabatku yang memang talkaktif dia menceritakan semua hal tentang dia yang mulai serius dengan hubungannya. Aku dan sahabatku yang lain tentunya excited mendengar kabar baik tersebut. Ternyata sudah lama ia menyimpan perasaan tersebut untuk sahabatku secara diam-diam. Sama seperti aku yang juga menyimpan perasaan untuknya secara diam-diam. Anehnya tidak ada rasa benci barang sedikitpun pada sahabatku ini. Air mata yang tanpa kusadari sudah jatuh pun, malah menjadi simbol bahwa aku bahagia dengan kabar tersebut. Tetapi tentu saja aku tidak senaif itu. Aku mengadu pada mama, tentang mengapa aku menangisi hal tersebut. Apakah benar aku bahagia untuknya?
Untuk hal ini, aku tidak bisa jujur kepada sahabat-sahabatku, terutama dia. Meskipun dia adalah yang paling dekat denganku tidak akan mampu aku mengutarakan perasaanku itu. Lebih baik aku menjadi pembohong daripada harus menghancurkan persahabatan ini. Kata mama, alasan aku menangis adalah karena aku menangisi diri sendiri. Mama berkali-kali bertanya, "memangnya kamu siap menjalani hubungan?", "Kamu ingin memilikinya seutuhnya?", "Kamu berharap dia mencintai kamu?".
Dan berkali-kali aku menjawab, tidak. Aku hanya mengaguminya, aku tidak berharap bisa memilikinya seutuhnya, aku tidak pernah siap berbagi waktuku dengan orang lain, fokusku bukan itu. Di seberang telpon, mama hanya tertawa. Sementara aku mati-matian menahan isak tangis yang sewaktu-waktu bisa meledak dan tentu saja akan mempermalukan harga diriku.
"mama kira kamu gak nurutin mama dan pacaran diam-diam loh," jawabnya di seberang telpon dan tentu saja masih cekikikan. "lagian papa kan gak pernah ngelarang kamu pacaran." lanjutnya.
"niatnya gitu. Tapi ketika ada yang deketin, malah males dan takut aja" balasku. Percakapan panjang tersebut akhirnya berakhir.
Jam sudah menunjukan pukul satu malam dan mataku masih tetap terjaga; memikirkan ucapan mama; bayangan dia yang juga terus berputar di kepalaku. Mungkin mama benar, fakta bahwa tiba-tiba aku menangis bukan karena orang yang ku kagumi sejak lama itu tidak mencintaiku kembali, tetapi aku menangisi diri sendiri yang ternyata seberapa besarpun aku mencintai seseorang aku tidak akan pernah bisa membuka diri, aku belum siap untuk hal itu. Sakitnya ketika aku mencintai sendirian, menggila ketika memiliki momen yang intens, salah tingkah dan hal lainnya itu bukan suatu hal yang harus 'dibayarkan' di kemudian hari dengan 'bayaran' dia harus mencintaiku kembali. Pada akhirnya ini tentang aku dengan kerumitanku sendiri.
Aku tidak akan menyukai anggapan bahwa aku menyedihkan; cintaku yang selalu sepihak, orang yang kucintai hanya melihat sahabatku, orang yang mencintaiku tidak bisa aku cintai, orang yang ku cintai selalu menarik ulur. Sejak lingkaran ini pertama kali berputar, aku sudah mempersiapkan diri tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Aku kira aku selalu diap dengan konsekuensi yang ada di depan mata, ternyata aku selalu terjatuh dan terjebak dalam lubang yang sudah ku tandai sebelumnya.
Mungkin aku belum sepenuhnya mencintai diri sendiri, yang pasti untuk saat ini aku tidak lagi merajuk pada Tuhan; tentang bagian-bagian cerita yang di berikanNya padaku. Banyak teman-temanku di luaran sana yang menurutku, mereka terlalu patuh dalam memandang bentuk cinta. Banyak dari mereka yang terlalu bodoh untuk menyakiti diri sendiri hanya karena tidak ingin kehilangan orang yang mereka cinta, bagi mereka itu adalah sumber kebahagiaanya. Dan mungkin di sinilah aku harus belajar memahami perspektif tersebut, mungkin saja aku yang keliru.
Perihal waktu, akau tidak lagi bertanya-tanya maupun mengharap sesuatu yang tidak benar-benar ada untukku. Aku akan sembuh sendiri dan lebih memahami diri dengan sendirinya. Aku hanya perlu fokus di 'aku' untuk perkembangan selanjutnya. Aku tidak harus stuck dengan pertanyaan-pertanyaan ambigu yang seharusnya bukan aku tanyakan tapi harus aku usahakan dan cari tahu sendiri jawabannya melalui perjalanan dalam proses berkembang itu. Terima kasih untuk aku yang saat ini.
Komentar
Posting Komentar